Minggu, 25 November 2012

Wawancara Koperasi KOSSUMA DEPOK



Nama               : Premita Lisawati
Kelas               : 2EA14
NPM                 : 15211571
Nama Koperasi  : KOSSUMA DEPOK

Alamat       : Jl. H. Rijin RT 05/11 No. 128 Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Depok 16951


Ini adalah hasil wawancara saya dengan salah satu pengurus yaitu sekertaris Koperasi KOSSUMA



KOSSUMA Depok berdiri sejak tanggal 16 Januari 2006 sebagai “Pilot Projek”Tim Ekonomi PP Salimah. Dengan Akte Notaris Herdianti Witjaksana, SH dan dikeluarkan pada tanggal 28 Juni 2006 No. 03. Badan Hukum No 518/20/BH/KPPS/KANKOP/1.2/VI 2006.  Lalu disahkan oleh Sudin Koperasi dan UKM Kota Depok pada tanggal 30 Juni 2006. Launching KOSSUMA Depok telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2006 dan diresmikan oleh Bapak Drs. Eddy Setiawan MM (Asisten Departemen Urusan Pembiayaan dan Peminjaman Kredit Kementrian Koperasi dan UKM RI).

Koperasi KOSSUMA mempunyai visi dan misi. Visi Koperasi ini adalah sebagai koperasi yang produktif dalam mengoptimalkan potensi wanita di Depok. Dan misinya adalah sebagai mitra usaha wanita dalam mengembangkan ekonomi keluarga.

Lalu tujuan Koperasi KOSSUMA dibentuk adalah untuk membanti usaha kecil dan menengah serta masyarakat khususnya wanita untuk dapat maju dan sejahtera.

Koperasi KOSSUMA mempunyai program sebagai berikut :
a. Jasa pelayanan simpan pinjam
b. Pembiyaan untuk pengembangan usaha (usaha/barang)
c. Investasi dalam kerjasama usaha
d. Pembiyaan untuk barang produktif dan konsumtif
e. Penerimaan dan penyaluran dana sosial

Sistem yang dipakai itu sistem Tanggung  Renteng. Sistem Tanggung Renteng yaitu suatu sistem yang memuat tanggung jawab dan kerjasama diantara anggota satu kelompok untuk menunaikan segala kewajiban anggota terhadap koperasi dengan dasar keterbukaan, dapat dipercaya dan saling mempercayai, sehingga tercapai tujuan koperasi yaitu kemajuan dan kesejahteraan seluruh anggota.

Di Koperasi ini tentu saja ada pembagian Sisa Hasil Usaha atau yang biasa disingkat SHU. Adapun perhitungannya sebagai berikut :
  1. 15% untuk dana cadangan
  2. 23% untuk anggota menurut perbandingan jasa dalam usaha dan tergantung juga dari pendapatan anggota itu sendiri. Jadi semakin besar jumlah pendapatan anggota, semakin besar pula SHU-nya.
  3. 25% untuk anggota menurut perbandingan simpanan
  4. 15% untuk dana pengurus
  5. 10% untuk dana kesejahteraan pegawai
  6. 6% untuk dana kesejahteraan koperasi
  7. 1% untuk pembangunan daerah kerja
  8. 5% untuk dana sosial

Koperasi ini mempunyai anggota yang aktif dan tidak. Dan anggota yang aktif ada yang individu dan kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 5-17 orang.  Dan sampai saat ini tercatat ada 17 kelompok.

Karena Koperasi ini memakai sistem tanggung renteng maka keuntungan menjadi anggota Koperasi KOSSUMA sendiri adalah :
  1. Terhindar masalah riba yang jelas-jelas hukumnya haram
  2. Pengembangan usaha bagi yang sudah memiliki usaha
  3. Mendapatkan bagi hasil dari simpan pinjam dan SHU bagi yang aktif berbelanja di Koperasi
Barang-barang yang dijual di Koperasi ini bermacam-macam. Mulai dari makanan beku, makanan ringan, makanan pokok, mainan anak-anak, aksesoris rambut seperti jepitan, kunciran, bando sampai perlengkapan solat.


Dan syarat menjadi anggota Koperasi KOSSUMA adalah :
  1. Membayar pendaftaran Rp. 10.000
  2. Membayar simpanan pokok Rp. 100.000
  3. Membayar simpanan sukarela
  4. Wajib belanja kebutuhan harian dan bulanan di Koperasi KOSSUMA
  5. Ikut serta secara aktif dalam kegiatan yang sudah disepakati oleh kelompok
  6. Berkelakuan jujur, baik dan amanah
  7. Rela berkorban dan bekerjasama antar kelompok dalam rangka sistem tanggung renteng

Untuk menjadi anggota kelompok ada syarat yang harus diutamakan yaitu Muslimah di Kota Depok dan sekitarnya dan pengusaha kecil dan menengah khususnya wanita di sekitar Depok.

Jam Operasional Koperasi KOSSUMA ini Senin sampai Jum'at mulai pukul 08.30 - 16.00. Dan waktu istirahat pukul 12.00 - 13.00 dan hari Sabtu, Minggu dan tanggal merah TUTUP.

Dan yang terakhir susunan pengurus Koperasi KOSSUMA ini adalah :
Ketua                           : Ratna Munaya
Sekertaris                     : Desi Tri Sundari
Bendahara                    : Laksmita Susidharti, SE
Divisi Simpan Pinjam     : Ir. Uswindraningsih
Divisi Usaha                  : Hj. Anni Rosyidah

Jumat, 19 Oktober 2012

Lambang Koperasi (Desain)


Nama Kelompok Kelas 2EA14 :
1. Frinca Oktaviani    (12211970)
2. Melisa Rizki        (14211422)
3. Pratiwi Oktavianti  (15211564)
4. Premita Lisawati    (15211571)
5. Yayuk Lestari       (17211500)

Lambang Koperasi


Pengertian Lambang Koperasi :
ð   Warna putih menunjukkan pencapaian diri, kemurnian atau kesucian, sederhana, bersifat kerakyatan, jujur dan bersih.
ð  Warna merah menunjukkan energi, kekuatan, keberanian, dan perjuangan. Warna merah putih juga menggambarkan warna bendera Indonesia.
ð  Warna biru menunjukkan kesan kebijakan, perlindungan, tenang, lembut, bersahabat, kebersamaan dan harapan masa depan cerah.
ð     Gambar burung Garuda merupakan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan Negara yang kuat.
ð     Tulisan ‘Koperasi Indonesia’ bertujuan untuk menunjukkan bahwa lambang ini milik Koperasi Indonesia bukan milik Negara lain. Dan tulisan yang sejajar memiliki arti adanya ikatan yang kuat antara para anggotanya.
ð  Bentuk persegi lima bermakna Koperasi Indonesia harus berprinsip dan berpedoman pada Pancasila yang pada dasarnya adalah ideologi dasar bagi Negara Indonesia.

Rabu, 17 Oktober 2012

Jurnal Internasional Mengenai Ekonomi Koperasi


COOPERATIVE RESEARCH PAYS OFF FOR THE ECONOMY

AGRICULTURE has been the biggest beneficiary of the government funded Cooperative Research Centre program, according to a new report on its economic and other impacts.
The estimated direct economic impact on the sector is $6.15 billion, which takes in the 21 year life of the program so far, and projections to 2017, according to the report by The Allen Consulting Group launched last night by Tertiary Education Minister Chris Evans.
The estimate for the services sector is $5.7bn, for mining is $1.5bn and for manufacturing is $1bn.
It also gauged the educational value of the CRC program as measured by the number of research postgraduate students it has supported, which is about 4400 between 1991-92 and 2009-10.
Based on Insight Economics estimates from 2006, which assigned a premium of about $37,000 per annum for each research postgraduate in Australia, the total is $163 million.
The HES reported yesterday that the headline figure from the impact analysis was a three dollar return for every dollar of taxpayers money invested. It estimated the economic and other impacts of the program totalled $14.5bn, including $8.6bn from 1991-2012.
There are currently 37 CRCs but there have been 190 over the life of the program, which has received $3.4bn in federal government funding.
The report also estimates that the CRC program has contributed about 0.03 percentage points of GDP annually over its life.
CRC Association chief executive Tony Peacock told the HES the study contained "some really important lessons''. "The long-term nature of CRC collaboration is a key factor in achieving such good impacts,'' Professor Peacock said.
"That's something we should try and extend to every part of the Australian innovation system whenever it is practical. Secondly, planning for impact works -- end users of research know what they want and their input increases impact.''
He said the CRCs were getting better at delivering high-impact research. "It is no wonder that the UK, Taiwan, Sweden and South Africa have set up or are setting up similar programs,'' he said.

PENELITIAN KOPERASI TERBAYAR BAGI PEREKONOMIAN

PERTANIAN telah menjadi penerima manfaat terbesar dari pemerintah yang didanai Program Penelitian Pusat Koperasi, menurut sebuah laporan baru mengenai dampak ekonomi dan lainnya.
Dampak ekonomi yang diperkirakan langsung pada sektor ini adalah $ 6150000000, yang sejauh ini diambil dalam 21 tahun program, dan proyeksi tahun 2017, menurut laporan Consulting Group Allen diluncurkan tadi malam oleh Menteri Pendidikan Tersier Chris Evans.
Perkiraan untuk sektor jasa adalah $ 5.7 miliar, untuk pertambangan $ 1,5 miliar dan untuk manufaktur adalah $ 1 miliar.
Hal ini juga mengukur nilai pendidikan dari program CRC yang diukur dengan jumlah mahasiswa pascasarjana yang telah mendukung, yaitu sekitar 4400 orang antara tahun 1991-1992 dan 2009-2010.
Berdasarkan Insight Ekonomi memperkirakan dari tahun 2006, setiap pascasarjana di Australia yang diberi premi sekitar $ 37.000 per tahun, dan  totalnya adalah $ 163 juta.
The HES melaporkan kemarin bahwa angka headline dari dampak analisis adalah tiga dolar kembali untuk setiap dolar untuk pembayar pajak yang diinvestasikan. Diperkirakan dampak ekonomi dan lainnya dari program ini mencapai $ 14.5 miliar, termasuk $ 8.6 miliar dari tahun 1991-2012.
Saat ini ada 37 CRC tetapi sudah ada 190 selama masa program, yang telah menerima $ 3.4 miliar dalam pendanaan pemerintah federal.
Laporan ini juga memperkirakan bahwa program CRC telah memberikan kontribusi poin persentase sekitar 0,03 dari PDB per tahun selama hidupnya.
CRC Asosiasi kepala eksekutif Tony Peacock mengatakan kepada HES penelitian terkandung "beberapa pelajaran sangat penting'' Sifat jangka panjang kerjasama CRC merupakan faktor kunci dalam mencapai dampak yang baik seperti itu,'' kata Profesor Peacock.
"Itu sesuatu yang kita harus mencoba dan perperpanjang setiap bagian dari sistem inovasi Australia setiap kali praktis. Kedua, perencanaan untuk pengaruh pekerjaan. Pengguna akhir penelitian tahu apa yang mereka inginkan dan pengaruh masukan mereka tingkatkan''.
Dia mengatakan CRC yang semakin baik memberikan dampak tinggi pada penelitian. "Tidak mengherankan jika Inggris, Taiwan, Swedia dan Afrika Selatan telah menyiapkan atau membuat program serupa,'' katanya.

Source :

Selasa, 09 Oktober 2012

Pertumbuhan Dan Pengembangan Koperasi Di Indonesia

A. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
1. Mulai Tumbuh
      Sebagian besar pakar koperasi dan beberapa kalangan berpendapat bahwa sesungguhnya bentuk-bentuk koperasi yang konkret di Indonesia baru mulai tumbuh pada era kebangkitan nasional, yaitu pada awal-awal tahun 1900-an.
         Dimulai dari berdirinya koperasi rumah tangga (konsumsi), yang didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional di kalangan Boedi Oetomo pada tahun 1908, kemudian disusul dengan berdirinya toko-toko Adil pada tahun 1913 oleh tokoh-tokoh Serikat Dagang Islam, Sarekat Islam dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti dari PNI, Partindo, Parindra dan sebagainya di awal tahun 1900-an, sebagai bagian dari strategi perjuangan mencapai kemerdekaan.
        Pada masa-masa tersebut konon juga mulai berdiri koperasi di kalangan para santri, koperasi pondok pesantren, yang didorong oleh para kiai. Namun demikian koperasi di masa itu pada umumnya tidak bisa berusia panjang.
      Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain misalnya kurangnya pengalaman dan pengetahuan mereka dalam mengelola koperasi. Sedangkan pemerintah dan pergerakan juga tidak pernah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan maupun penyuluhan bagi para pengelola koperasi. Di samping itu tipisnya solidaritas dan loyalitas anggota juga telah mengakibatkan toko-toko yang didirikan kurang dimanfaatkan oleh anggotanya sendiri.
     Berkembangnya sistem penjualan dengan cara kredit oleh toko- toko swasta non-koperasi kepada pembeli yang tidak punya uang tunai, juga menjadi sebab lain tersainginya toko-toko koperasi pada saat itu.
       Ada informasi penting lain mengenai kondisi awal koperasi di Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Drs.Hendroyogi, M.Sc., dalam buku Azas-azas, Teori dan Praktek Koperasi, Edisi Revisi 2002. Menurutnya sebelum ada Undang-undang perkoperasian tahun 1915, koperasi di Indonesia diberikan status badan hokum sebagai Zedelijk Lichaam (Staatsblad 1870 nomor 64, sesuai bunyi Undang-Undang tahun 1855 yang berlaku di Negeri Belanda). Sebagai contoh ada tiga buah koperasi pemilik/penanam kopi di Lembang, Lemburawi dan Poseli, yang didirikan dengan surat keputusan pemerintah tertanggal 31 Desember 1917 Nomor 58, yang diberikan recht persoon menurut Staatsblad 1870 Nomor 64 tersebut.

2. Peraturan Perkumpulan Koperasi Nomor 431 Tahun 1915
    Mulai bertumbuhnya semangat masyarakat untuk berkoperasi serta bermunculannya berbagai koperasi tersebut telah mendorong Pemerintahan penjajah Hindia Belanda untuk segera memberlakukan Verordening op de Cooperative Vereeniging, berdasarkan Koninklijk Besluit 7 April 1915, atau sering disebut dan lebih dikenal sebagai: Peraturan tentang Perkumpulan-perkumpulan Koperasi, atau Staatsblad nomor 431 tahun 1915 (yang sebenarnya sama persis dengan Undang- Undang tahun 1876 yang berlaku di Nederland).
    Undang-Undang ini antara lain memuat peraturan tentang tata cara mendirikan koperasi yang oleh kalangan masyarakat pribumi saat itu dirasakan amat berat, rumit dan mahal, antara lain misalnya:

(1). Koperasi yang akan didirikan harus dimintakan ijin terlebih dahulu kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia;
(2). Anggaran Dasarnya harus ditulis dalam bahasa Belanda;
(3). Akta Pendiriannya harus dibuat di hadapan Notaris;
(4). Biaya pendirian dan pengesahannya dapat dikatakan terlalu tinggi bagi badan usaha yang relatif masih lemah seperti koperasi.
3. Peraturan Mengenai Perkumpulan Koperasi Bumipitera (Lembaran Negara Nomor 91 Tahun 1927)
    Menanggapi sikap antipati dari ”kaoem boemipoetera" (baca: bangsa Indonesia) saat itu terhadap Peraturan Perkumpulan Koperasi nomor 431 tahun 1915 tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 membentuk Komisi Koperasi yang dipimpin oleh Prof. Dr. JH Boeke, untuk menampung aspirasi kaum pribumi (bangsa Indonesia) dalam berkoperasi.
     Dan sebagai basil kerja dari komisi tersebut, antara lain lahir Regeling lnlandsche Cooperative Vereeniging, atau sering disebut dan lebih dikenal dengan sebutan: Peraturan Tentang Perkumpulan Koperasi Bumiputera Nomor 91 Tahun 1927, yang khusus berlaku bagi kaum bumiputera (baca : bangsa Indonesia).
    Berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah segera membentuk Cooperatie Dienst (Jawatan Koperasi) pada tahun 1930 di bawah Department van Binnenlandshe Bestuur (Departemen Dalam Negeri).
       Kemudian pada tahun 1935 jawatan tersebut berada di bawah naungan Department van Economische Zaken (Departemen Perekonomian), dan pada tahun 1939 digabung menjadi Dienst voor Cooperative enr Binnenlandsche Handel, (Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri).
       Sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama, pemerintah menunjuk Prof. Dr. JH Boeke (yang saat itu sebagai Adviseur Voor Volkscredit, yang pernah mengetuai Komisi Koperasi). Sejak itu masyarakat pribumi yang akan berkoperasi tidak perlu lagi ke notaris, tetapi cukup mendaftarkan pada pemerintah (Jawatan Koperasi) dengan biaya yang yang lebih murah.


Studie Club, 1927
          Pada tahun 1927 Dr Soetomo, di Surabaya mendirikan Studie Club, yang kelak, pada tahun 1932 namanya diganti menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (P.B.I.). Pada tahun 1939 berfungsi lagi dengan beberapa perkumpulan lain dan menjelma menjadi Partai Indonesia Raya, Parindra. Tujuan utamanya semula adalah mempelajari masalah perkoperasian.
          Tetapi kemudian juga bersedia mengadakan kerja sama dengan Jawatan Koperasi untuk membentuk Komisi Pengawasan Koperasi, khusus di Jawa Timur. Namun perjuangan Parindra mulai dicurigai Belanda, dan dianggap memiliki tujuan-tujuan politik.Pemerintah Hindia Belanda mulai mengimbangi dengan membetuk beberapa Crediet Centrale (Pusat Koperasi Kredit) di Batavia, Malang, Tasikmalaya, Surabaya dan beberapa tempat lainnya. (G. Kartasapoetra dkk, 1987)
          Pada Bulan Desember 1932 pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan Pemerintah Nomor 29 yang dimuat dalam Staatsablad nomor 634 tahun 1932, yang menetapkan bahwa koperasi yang dibentuk berdasarkan Staatsblad Tahun 1927 Nomor 91, bebas pajak selama 10 tahun semenjak didirikan.

Keadaan Koperasi Pada Tahun 1940
          Sampai dengan tahun 1940, atau setelah sekitar 13 tahun berlakunya undang-undang koperasi tahun 1927, jumlah koperasi telah berkembang menjadi 656 unit, dengan jumlah anggota sebanyak 52.555 orang, yang terdiri dari mereka yang berasal dari pegawai, sekitar 47 persen petani, 20 persen buruh, 9 persen dan pedagang, sekitar persen.
          Tetapi memang tidak semuanya dapat berkembang baik. Karenanya 82 di antaranya, atau sekitar 12 persen terpaksa harus dibubarkan. Pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 1938, yaitu sejumlah 144 unit koperasi, dan 50 persen di antaranya adalah koperasi para pensiunan, yang bergerak di bidang simpan pinjam. ( G. Kartasapoetra dkk.,1987).
           Sebagian besar koperasi pada saat itu memang merupakan koperasi yang bergerak di bidang perkreditan atau simpan pinjam (sekitar 77 persen), ada juga koperasi konsumsi, tetapi jumlahnya sedikit dan tak berkembang. Di samping itu ada juga koperasi yang melayani pemasaran dan pembelian bahan-bahan baku yang diperlukan oleh orang anggota untuk proses produksinya. Akan tetapi koperasi jenis itupun banyak yang mengalami nasib seperti halnya dengan koperasi konsumsi.
       Yang masih bertahan antara lain koperasi batik Trusmi Cirebon, Persatuan Perusahaan Batik Bumiputera Surakarta, Koperasi Batik Pekalongan. Koperasi Teh di Sukabumi (Madoc Tawon), Koperasi Pertenunan Majalaya (Saudara Oesaha), daD sebagainya.

B. Masa Pendudukan Jepang
     Pada sekitar bulan Maret 1941, bala tentara Jepang mendarat. Dan dimulailah apa yang pada saat itu dikenal sebagai jaman pendudukan Jepang. Keadaan tidak banyak berubah, bahkan data mengenai keberadaan Koperasi sulit diperoleh. Hanya sedikit hal yang dapat diketahui, antara lain bahwa jumlah koperasi pada tahun 1941 mencapai 721 unit dan pada tahun 1942 bertambah sedikit menjadi 728 unit.
         Di masa itu, keterlibatan pemerintah tetap berlanjut, karena UU 91/1927 dinyatakan tetap berlaku. Jawatan Koperasi tetap dipertahankan dengan nama ala Jepang, Syomin Kumiai Tyo Dyomusyo (di tingkat Pusat) dan Syomin Kumiai Tyo Sadansya (untuk tingkat daerah). Ada satu peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah militer pendudukan Jepang saat itu, yang meskipun bukan khusus untuk koperasi, tetapi berlaku juga bagi koperasi sebagai suatu perkumpulan, yaitu Peraturan No. 23 tahun 1942 yang antara lain pada pasal: 2 menegaskan bahwa untuk mendirikan suatu perkumpulan (termasuk koperasi), serta bila akan menyelengarakan persidangan atau rapat-rapat perkumpulan, maka para pendiri atau pengurusnya wajib memperoleh ijin terlebih dahulu dari Residen.
     Pada tanggal 1 April 1943, semua pegawai Jawatan Koperasi daerah (kecuali pemimpin Jawa Barat dan Jawa Tengah) diserahkan kepada dan bekerja langsung di bawah perintah Syuchokan. Dengan demikian hubungan langsung antara kantor pusat dan daerah menjadi terputus (D. Danoewikarsa, 1977).
      Pada bulan Agustus 1944, pemerintah pendudukan Jepang menggelar kebijakan baru dengan membentuk Jumin Kaizaikyoku (Kantor Perekonomian Rakyat). Dan Jawatan Koperasi masuk dalam naungan kantor tersebut, dengan sebutan "KUMlAKA". Sedangkan koperasi yang disebut dengan nama KUMIAI, oleh pemerintah pendudukan Jepang ditugasi mendistribusikan barang pemerintah kepada rakyat. Di samping itu masih ada tugas lain yang tidak ringan yaitu mengumpulkan (membeli) seperti kapas, jarak, iles-iles dan lain sebagainya, untuk kepentingan Jepang dalam "Peperangan Asia Timur Raya".
        Bulan Februari 1945, selama dua bulan pemerintah pendudukan Jepang, menyelenggarakan kursus koperasi di Jakarta bagi pegawai negeri yang ditunjuk oleh Shucokan (Residen). Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk memberi bekal keterampilan bagi pejabat pemerintahan dalam memberikan pengarahan dan penerangan atau penyuluhan pada koperasi, dan tujuannya tampaknya tidak terlalu jauh dari kepentingan Jepang untuk memenangkan Peperangan Asia Timur Raya.

C. Meletakkan Dasar Ekonomi Kerakyatan
        Struktur perekonomian rakyat pada masa kolonialisme Belanda dan Jepang yang sangat memprlhatinkan, telah menyentuh hati para pemimpin bangsa saat itu. Oleh karenanya mereka sepakat untuk melahirkan suatu pemikiran yang arif yang dapat mewujudkan suatu sistem ekonomi yang dianggap tepat untuk dibangun kelak di alam kemerdekaan yang tengah diperjuangkan itu.
     Sistem ekonomi yang dituju adalah sistem ekonomi yang dapat mewujudkan kemakmuran bersama, yang memberi peluang kepada rakyat banyak untuk dapat menjalankan kegiatan usahanya secara adil, yang dapat mengentaskan kemiskinan yang bertumpu pada kegotong- royongan dan kebersamaan, yang bemafaskan Pancasila sebagai falsafah bangsa. Mereka selanjutnya juga sepakat untuk memasukkannya kedalam rumusan Rancangan Undang Undang Dasar yang saat itu tengah disusun, yang di dalamnya juga tercantum mengenai Pancasila, sebagai Dasar Negara.
          Kelima sila dalam Pancasila secara integralistik harus menjiwai sekaligus terpancar dalam tatanan dan wujud perekonomian nasional. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, adalah dasar bagi sistem ekonomi kerakyatan. Sementara itu sila ketiga, Persatuan Indonesia adalah semangat dan jiwa ekonomi rakyat. Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, adalah cara untuk mencapai ekonomi kerakyatan. Sedangkan sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah tujuan atau gambaran sistem ekonomi kerakyatan yang ingin dicapai melalui proses desentralisasi dan otonomi, sehingga memungkinkan terwujudnya upaya pemerataan yang lebih adil menuju kemakmuran bagi semua anggota masyarakat dan bukannya kemakmuran orang seorang.
          Dengan demikian maka wujud perekonomian yang hendak dituju adalah perekonomian yang senantiasa memperhatikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakiilan serta yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
      Pemikiran-pemikran yang demikian itu pulalah yang telah melahirkan kesepakatan dari para "founding father" untuk memuat pasal 33 pada UUD 1945 sebagai dasar untuk membangun perekonomian nasional. Undang-undang tersebut memuat dasar-dasar demokrasi ekonomi menuju terwujudnya sistem ekonomi rakyat di alam Indonesia Merdeka.

Source:
http://www.smecda.com/Files/infosmecda/misc/awal_pertumbuhan.pdf

Sabtu, 21 April 2012

Noun Clause

Noun Clause is subordinate clause which functions as noun. Noun Clause in a sentence usually is used as subject and object. Noun Clause usually begins with words like how, why, what, where, when, who, that, which, whose, whether, etc. Also words like whoever, whenever, whatever, and wherever.

Kinds of Noun Clause, among others:
  • Noun Clause as the Subject of a Sentence
  1. What he promised doesn't get people out from the poorness.
  2. How she improves her economic life makes me motivated.
  3. That the rising fuel price is cancelled is a fact.
  • Noun Clause as the Transitive Verb
  1. I know what he saves in the bank.
  2. I don't understand why he stole my money.
  3. She said that the food price is rising.
  • Noun Clause as the Preposition
  1. You have to learn how he's working to get money.
  2. He should know how poor people are starving.
  3. He know that people are starving.
  • Noun Clause as Complement
  1. Be rich is what I dream.
  2. Money is what I need now.
  3. That kid pays full attention to how his mom's counting the money.
  • Noun Clause as Apposition
  1. He said that he will work in America is a fact.
  2. The fact that the food price is rising surprises me.
  3. What she said that the food price is rising surprises me.

Source:

Jumat, 30 Maret 2012

Adverb Clause

Adverb Clause consists of 2 words, which are 'Adverb' (adverb word which tells verb and adjective) and 'Clause' (subordinate clause). So, Adverb Clause is a subordinate clause that tells verb and adjective that functions as adverb. The general formula of Adverb Clause is: subject + predict + conjunction + subject + predict. For example: I hugged my mother when she was coming back.  

Adverb Clause consists of 8 kinds, those are:
  • Clause of Time
Clause that shows time. It usually uses conjunction such as: after (the sum of people starving is increasing after the food price rose), before (he saves his money for live saving before his baby born), while (food price is rising while so many people are starving), as, no sooner, etc..
  • Clause of Place
Clause that shows place. It's usually made by using conjunction such as where (he goes to market where sells his merchandise for my life), somewhere (I'm going somewhere to work), nowhere, somewhere, etc..
  • Clause of Condition
Clause that shows that there's a regulation between 2 related incidents. It's usually made by using conjunction such as if (if the fuel price rising is cancelled, they may stop demoing), even if (even if so many people are starving, the food price is still rising), if only (they may stop demoing, if only the fuel price rising is cancelled), suppose, supposing, in case, etc..
  • Clause of Reason
A subordinate clause that is used for showing cause or reason. Adverb Clause of Reason begins with conjunction such as since (since he has so many debts, her economic life is getting harder), because (because her father gets a job again, her economic life isn't hard anymore), whereas, as, etc..
  • Clause of Manner
Clause that shows the way how a work done or an incident happens. It usually uses conjunction such as how (he's thinking about how the way to overcome the rising of fuel price), as, like, etc..
  • Clause of Purpose and Result
Clause that shows the relation of purpose and the result. It's usually made by using conjunction such as: so that (he saves his money in bank so that he can buy a new car), in order (they go to work by bicycle in order to overcome the rising fuel price), in the hope that, etc..
  • Clause of Cause and Effect
Clause that shows the relation of cause and effect. (she's starving that she can't buy food, his economic life is getting harder that he lost his job).
  • Clause of Contrast/Concession
Clause that shows that there's a conflict between 2 related incidents or events. Usually made by using conjunction such as: even if (even if the food price is rising, I still need it), although (although the fuel price is rising, I still need to buy it), as the time, whereas, etc..

Source: